Melepas rindu ke Gunung Dempo (Part 1: perjalanan di bus)

Dor...! Maafkan aku yang baru saja kembali dari masa pemulihan. Kali ini aku akan bercerita tentang perjalanan mendaki Gunung Dempo.

Seperti biasa kalian akan tahu jika kusebut mereka Palanus, ya kami menamakan diri kami dengan sebutan itu, dulu itu iseng saat salah seorang teman nyeletuk dan bilang, Palanus aja " Pecinta Alam Nusa Bangsa " ( karena dari sanalah kampusku berasal) perlahan nama tersebut bergeser maknanya, karena banyak juga kami melakukan pendakian yang justru dengan teman yang tak berasal dari kampus yang sama, namanya tetap Palanus , tapi nus dalam kata itu kini berubah menjadi nusantara, bahkan Pa sekalipun tak lagi menjadi pecinta alam, tapi penikmat alam, kami ternyata belum siap mengemban nama pecinta, pecinta mana yang belum bisa melakukan apa-apa demi alamnya? tentu saja kami hanya bagian dari para penikmat alam itu.

H-7 Sebelum Keberangkatan
" Ri, kayanya hanjar gak bisa ikut deh soalnya ada kuliah mendadak, dan jatah buat gak masuk udah habis." pesan itu terbaca olehku sore-sore.
Bayangkan, aku sudah cukup dibuat kecewa karena kak Syura tak dapat ijin mendaki, lalu tersisa hanya aku lah yang benar-benar merindukan langit biru dan pepohonan itu? sebetulnya aku rindu bercengkrama bersama mereka, tapi aku terlalu gengsi untuk mengatakan yang sejujurnya. Berbulan-bulan pendakian ini sudah ku persiapkan, sampai-sampai entah kali keberapa aku mengunjungi blog yang sama tentang gunung yang masuk bukit barisan itu, tentang tanah Sumatra. Ku coba tenang, aku balas pesan dari bapak konservasi itu.
"Kamu gimana sih njar, katamu kamu udah bisa, ini kan udh planning dari jauh-jauh hari, masak tiba-tiba batal, kamu bilang aku suruh cari infonya, nanti kalian tau beres, terus aku udah nyari tiba-tiba batal? laki-laki itu yang dipegang ucapannya."
Ku lihat centang biru, tapi dia tak kunjung jua membalas. Lima menit balasan darinya sungguh terasa lama, ya aku mendambakan pendakian itu tetap terlaksana, sudah berapa plan aku buat demi kelancaran semua, termasuk urus mengurus soal tiket, percayalah kali ini aku melakukannya, bukan lagi mereka yang mengurusiku, sedikit belajar dari mereka, dan ternyata itu cukup membuat kepalaku  ngebul, bahkan aku harus berkutat dengan orang yang sama sekali aku tidak mengenalinya hanya demi mendapatkan info tentang pendakian.
"Kalau gak gunung di Jawa aja gimna? Hanjar bener-bener gak bisa ri, maaf. Atau kita undur aja ke tgl 27 baru berangkat. "
Dalam benakku yang penting semua bisa berangkat daripada batal, aku memang masuk dalam kategori manusia keras kepala, dan aku wanita, maklum sajalah wanita selalu benar. Ku balas chatnya.
"Ok..tanggal 27 aja, tapi aku gak tau bisa apa engga karena udah pesen tiket bus kesana, kamu ajalah yang hubungi agennya, ini aku kasih nomornya. "
Singkat cerita aku udah terlanjur gak mood buat urusin itu, tabiatku sungguh jelek aku akui, untung saja mereka selalu paham, pengurusan tiket berangkat diambil alih Kak Cahyo. Ia Kak Cahyo ini selalu jadi penengah, menengahi kami-kami jika tak sependapat. Mungkin bacaan sajak-sajaknya yang mempengaruhi dia sedikit bijak atau entah novel melankolis mana yang telah ia baca, yang jelas dia selalu tahu kapan bersikap, dia single loh. Kamu mau aku kenalkan padanya ? hehe.
Dalam pendakian banyak drama itu memang wajar, kalau tidak aku mungkin tidak bisa menceritakannya pada kalian, sungguh ini karena mereka sesuatu. Jadilah pada akhirnya kami berlima memutuskan untuk tetap berangkat, aku lupa memperkenalkan mereka, 2 lainnya Trika dan Qori. Ah ada satulagi tambahan Kak Arif, ini juga termasuk drama tak berkesudahan antara aku dengannya, setiap kali ku tanya apakah benar keputusannya sudah bulat untuk tidak ikut? karena hampir jarang dia absen dalam pendakian. Alih-alih aku sudah percaya dia tak berangkat, benar sajalah hari H keberangkatan tiba-tiba Hanjar bilang, nambah satu tiket, kutanya untuk siapa Hanjar tak menjawab, kupikir itu kak Syura, jadilah kuhubungi kak Syura, ternyata bukan, aku sama sekali tidak berpikir itu dia, karena chat dia terakhir begitu sangat jelas dan terkesan tak ingin dipaksa, aku menurut saja, hanya membeli satu tiket tambahan apa yang salah ?

27 Desember 2018 
Aku dan Trika bergegas pergi ke Terminal Poris, sepertinya antusias kali ini datang dari Trika, segala macam cemilan sekarang lebih dari biasanya, pengalaman hipo mengajarkan dia untuk selalu ngemil sepertinya. Aku yang bertugas membeli tiket tambahan segera saja datang ke loket bus sinar Dempo, sang penjual menurutku baik, Hanjar bilang namanya juga orang jualan, tapi bagiku dia betul-betul baik, sudah sangat membantu mencari info apakah gunungnya dibuka atau tidak, karena tak ada yang tahu kabar pasti tentang Gunung Dempo, jangan tanya aku sudah berkali-kali bertanya di akun instagram gudangnya para pendaki, tak ada satupun yang membalas, mungkin karena mereka memang tak tahu, wajarlah Gunung ini jarang terpublish seperti gunung dalam 5cm itu.
Keberangkatan dari Terminal Poris pukul 12:00 WIB tapi terkendala bus belum juga sampai karena sedang macet-macetnya, maklum pendaki musim liburan lebih banyak ketimbang hari-hari biasa.
Kami memutuskan sholat dzuhur dan menjama'nya dengan ashar setelah terlebih dahulu mengisi perut. Hei...mereka berempat tak ada kabar, kuhubungi tak ada satupun yang memberi kabar, jahat memang, bus sudah datang, aku dan Trika berusaha mengulur waktu dengan terlebih dahulu menaikan carrier kami, banyak mata tertuju pada kami, disangkanya mungkin aku dan Trika benar-benar berdua. Tante sang penjual tiket datang menghampiri, mengabarkan, kalau yang lain akan tiba sebentar lagi, tak lama setelah itu benarlah mereka datang berlari-lari, adegan yang sepertinya selalu berulang, setelah pendakian ke Sindoro, ke Argopuro, entah gunung mana lagi yang slalu diawali dengan mengejar bus atau kereta, tapi uniknya Tuhan dengan segala cara selalu memberikan kesempatan kepada kami untuk tetap berangkat.
Kami sudah siap berangkat? masih belum, mereka pikir bus belum datang, ditinggalkannya carrier mereka, katanya kami sholat dulu, ya soal ini aku setuju aku pikir tak ada masalah, paling lama toh hanya 15menit pikirku, Tante penjual menghampiri, "teman kalian mana?"begitu tanyanya. Spontan aku dan trika menjawab"sholat dulu ya tan, mereka belum sholat."
"Oh yaudah, bentar lagi bus mau jalan, biar bisa cepat sampai dipelabuhan, ini ada cemilan buat kalian dijalan." Berbungkus-bungkus permen kopiko itu masuk secara paksa kedalam beberapa saku celanaku.
"Ya ampun tante ini ma banyak banget, nanti gak abis."basa basi busuk ini bukannya berterima kasih, oh Tuhan tidak, kami bukan penikmat kopi.
Dengan segala rasa bersalah bercampur terimakasih, ya sudah terpaksa kuterima pendaratan permen-permen itu, sambil tetap berusaha mengulur waktu. Penumpang di bus mulai melihat ke arah kami, lagi-lagi momen awkward ini selalu aku yg merasakan lebih dulu. Ku telpon mereka, luarr biasa mereka abai. Panik panik, berpikir apalagi ya Tuhan, yasudah kuputuskan mengajak Trika memasukan carrier mereka ke bagasi bus. Jangan tanya itu berat atau tidak, beraaat sekaliiii, carrier dengan isi entah apa itu mungkin 3langkah aku berjalan, 30menit aku istirahat, tapi sekali lagi ini terpaksa. Lagi-lagi kami jadi sorotan, huah serasa jadi popeye dadakan. Untungnya Tuhan masih menyayangi kami, saat sisa 1 carrier tertinggal, dan itu yang paling berat, datanglah kak Cahyo, tanpa basa basi dia mengangkat carrier itu.
"Anak-anak masih makan ci, belum pada makan mereka, tadi udah sholat katanya. "
"Hah? Belum makan? Kok bisa, kan mereka libur, yaudah ayo kak angkat dulu terus masuk ke bus, gak enak gw udah diliatin noh."
"Iya yo naikin dulu aja" timpal Trika.


Comments

Popular posts from this blog

Mencari asa yang hilang (part 3)

Manusia langka lainnya

Dibalik layar seorang rupawan