Ketika Ibu berpulang

Rabu, 29 Mei 2019
Dari meja kamar yang hanya satu-satunya itu, dering hp-ku berbunyi, kulihat kontak bernama ibu sayang, ku angkat, tapi kali ini bukan suara ibu, samar terdengar, "Bibi, ibu dibawa ke RS AMC." Begitu kiranya ponakanku menelpon.
Aku terdiam, pikiranku melayang, tiba-tiba pikiran ini penuh dengan kegelisahan, tentang sesuatu terburuk kemungkinan terjadi. Hari itu, malam ganjil 23 ramadhan, aku yang berniat melakukan itikaf bersama kak Syura, kak Asma, dan Runi kubatalkan, kondisi jalanan jakarta betul-betul macet total, zona merah terpampang dimana-mana, malam itu adalah puncak arus mudik, sungguh bukan tentang tarif yg mahal, tapi ojek2 online yg biasa kuandalkan pun nyaris tak ada ada satupun yg trsangkut.
Kugelar sajadahku, ada yg berbeda dalam doaku kala itu, lirihku berdoa, tak henti air mata ini menangis, bercengkrama selayaknya seorang sedang mengadu.
"Allah, sembuhkanlah ibuku, angkatlah segala penyakitnya, mampukan aku untuk membahagiakan ibu, sebelum Kau memanggilnya. Allah, mampukan aku untuk menikah sebelum Kau panggil ibu. Allah ampuni segala dosanya, terimalah amal ibadahnya. Allah, jika Engkau memanggil ibu, panggilah ia dalam keadaan husnul khotimah, keadaan berserah kepadaMu, dan sempatkanlah ibuku mengucap Laa illahaa illalloh, Tiada Tuhan selain Engkau ya Rabb."
Malam itu aku melanjutkan tadarusku, berusaha tenang, berusaha menerima, bahwa Allah memberi sakit sebagai pelebur dosa. Bayangan raut wajah ibu terus bermunculan, hei ada apalah gerangan, hati makin tak karuan.
Dini hari pukul 01:00 wib, aku masih belum tertidur, pesan wa masuk dari kakakku yg ke5, memohon doa ibu sedang kritis.
Aku semakin panik, hanya bisa berdoa, hingga waktu sahur datang, subuh itu langsung ku bergegas menuju terminal kalideres.

Kamis, 30 Mei 2019
Jalanan Jakarta memang selalu macet, aku dihadapkan pada situasi yg tak bisa aku kontrol, aku menaiki bus keberangkatan pertama, baru berangkat pukul setengah 7 pagi dari terminal kalideres, nampaknya nasib memang betul-betul tak berpihak padaku, dimanapun macet, subahanallah, entah kenapa aku baru kali itu tak merasakan kantuk. Sepanjang perjalanan kucoba dengarkan murottal al-qur'an, air mata terus basahi pipiku, sebetulnya aku sendiri tak paham kenapa aku menangis, kulihat disebelahku seorang pemuda sedang asiknya menelpon kekasihnya, tiba-tiba pikiranku teralih padanya, karena merasa terganggu dengan cara dia menelpon. Pukul 13:00wib aku masih terjebak macet, kakakku menelpon, bertanya kabarku sdh dimana.
Aku sampai di terminal leuwi panjang, perjalananku belum usai, aku masih harus menaiki damri, jangan tanya kenapa tidak pakai ojek biar lebih cepat, kondisiku saat itu membawa barang cukup banyak, hadiah untuk ponakan-ponakanku, dan kue untuk ibu, gelas untuk ibu, uang untuk ibu belanjakan apa saja yang ibu mau, tapi tanpa baju baru untuk ibu.
Kuputuskan kujamak sholatku diakhir. Datanglah bus, pukul 14:15 wib, hpku terus berdering, batinku tak kuasa mengangkat telpon, entahlah firasat itu menuntunku untuk tidak mengangkatnya. Ku balas dengan pesan singkat, aku bentar lagi sampai, sekitar 15menit lagi. Susah angkat telpon di bus. Aku yg padasaat itu sudah merasakan tanda-tanda itu, bukan kesusahan sama sekali, hanya aku tak siap mendengar itu langsung secara nyata. Aku tau batasku, aku takut aku tak bisa mengontrol diriku sendiri. Bus berhenti tepat didepan RS. Aku berjalan, sambil dada ini berdegup semakin kencang ditambah telpon itu terus berdering, kali ini ku angkat, terdengar suara tangisan, cepat-cepat ku bertanya diruangan mana, firasatku semakin menguat, tapi urung kubertanya apa yang sebenarnya terjadi. Sambil membawa semua untuk ibu itu aku berjalan lebih cepat, langkah yang semakin terasa berat. Kunaiki lift, sungguh langkah itu semakin terasa berat. Kuatkan aku ya Allah, lirihku. Kulewati lorong, terdengar tangisan kakak2ku, kulanjutkan langkahku, lalu kudapati kakak iparku datang memelukku, seraya berkata "ri, ibu tos teu aya." Kakak iparku sampai tersedu-sedu. Aku mendengar itu, serasa ingin kuhentikan waktu, aku diam, kulihat kakak2ku yang lain sedang sibuk meneriaki dokter, mengucap sumpah serapah. Aku? Andai kata Allah tak kuatkan, mungkin aku lah yang berada di posisi kakakku. Belum sempat ku melihat ibu, dokter melarangku masuk, persiapan untuk dibawa ke ruang jenazah, kakak-kakakku terpaksa dibawa security keluar karena sudah tidak bisa dikontrol. Disudut lorong, dengan tangan gemetar, kurasakan jari-jariku seperti membeku, sulit kugerakkan, dadaku terasa sesak, kepalaku sakit, aku menangis, sendiri, terhempas sudah tak peduli pada orang sekitar. Ya Allah, innalillahi wa innaillahi ra'jiun. Kuatkan hamba, kuatkan hamba, tiap-tiap yang berjiwa pasti akan merasakan mati, akupun akan mati. Sambil berusaha menenangkan diri, ku telpon pamanku, meminta bantuannya, karena kami sudah tak punya orang tua satupun. Aku mencoba menelponnya, kakak iparku yg lain melakukan hal yang sama. Kami betul-betul seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ku lanjutkan menghubungi teman terdekatku. Tapi, tak ada satupun yang mengangkat telponku kala itu. Kukirimkan chat perihal ibu meninggal. Pukul 15:00wib, datanglah beberapa tetangga, membantu kakak-kakakku, dan aku. Tapi, aku masih harus kuat, meski langkah terasa semakinberat, dalam benakku kutanamkan bahwa Allah punya rencana indah, sembari perasaan bersalah karena sebelumnya aku tak biasanya bercerita masalahku pada ibu, dan entah kenapa aku harus bercerita, penyesalan itu datang padaku, karena merasa akulah yang menyebabkan ibu masuk RS. Adzan ashar, aku ijin menunaikan shalatku, sungguh bukan karena aku meninggalkan ibu, tapi karena doa anaknya lah yang bisa menolongnya bukan tangisnya. Sembari aku butuh sekali rasanya bercengkrama dengan Allah, karena hanya Ia satu-satunya yang paham bagaimana aku.
Setelah sholat ashar, kakak iparku memanggilku, mengajak pulang, katanya ikut mobil jenazah saja.
Kulihat ibu terkujur kaku dihadapanku, kakak-kakakku masih belum tenang, wahai fulan ! Andai kata aku tak memikirkan ibuku, sudah barang tentu akulah yang diposisi kalian. Dan kalianlah yang seharusnya menguatkan aku. Orang bilang aku kuat? Syukurlah, karena sedari tadi setan memaksaku berteriak, menyalahkan siapa saja, harapanku sirna, impanku, tujuan hidupku, semuanya tiba-tiba hilang. Siapa tak remuk hatinya, seorang yang selama ini menjadi pelitadalam hidupnya, seorang wanita hebat yang sekaligus menjdi ayah bagiku, kini Allah ambil. Dan aku? Aku sendiri. Kepada siapa nanti aku harus pulang? Untuk siapa nanti aku bermimpi?bukankah semuanya untuk ibu? Baru sekali aku mendengar kajian ustadz yang masa lalunya acuh thd ibunya, dan Allah telah lebih dulu memanggilnya. Dan terasa itulah aku saat ini . Obrolan dipenghujung malam dihari-hari yang yang lalu. Ibu, nanti kalau aku tahun ini belum menikah, aku mau cari kerja di Bandung, biar bisa urus ibu. Ibu menjawab, iya biar gak usah ngontrak lagi. Bukan gak mau, tapi cari kerjcari kerja di Bandung itu aku gak dapet-dapet bu. Obrolan itu menjadi penutup sebelum tidur. Semua hal tentang ibu, apa saja rutinitasnya, semua itu satu persatu menemani perjalananku pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah, bendera kuning terpampang, teras rumah disiapkan untuk memandikan jenazah. Aku turun, ponakanku yang paling kecil paham neneknya sudah meninggal, tapi tak paham makna sebenernya . Kulihat rahma, ponakanku yang tinggal bersama kami, dan menjadi satu-satunya yang menemani ibu di rumah, menangis, terisak, kupeluk dia, aku paham betul rasanya. Aku tenangkan dia, rahma harus ikhlas, kita hanya sedang menunggu giliran. Sambil batinku merasakan perih luar biasa, wahai Allah kemanalah kami kini? Teringat percakapan, nanti kalau ibu udah gak ada, kamu sama rahma gimana? Aku dengan santai menjawab, meski air mata kala itu terjatuh jua. Alah udah biasa hidup sendiri aku ma, santai, ngerantau aja bisa, rahma ma tinggal sama bibi ya. Ibu gak usah banyak pikiran. Ibu melanjutkan, gak ada orang tua ma kerasa, kasian kalian nanti, semoga kamu dapat orang yg sayang sama kamu, dan sayang keluarga juga, syukur-syukur bisa terima rahma. Aku tak kuasa lagi menjawab, hanya bilang aku sdh biasa merasakan pahit hidup bu, mencoba membuat ibu tak khawatir. Dan ternyata kini omongan ibu benar, semua tak semudah yang aku bicarakan.
Tetangga masih menenangkan kakak-kakakku, entah sampai kapan mereka bisa tenang pikirku, aku bergerak, ku tinggalkan rahma dikamar.
Aku datangi ustadzah, aku katakan aku akan ikut memandikan jenazah ibu. Ustadzah bilang, iya neng alhamdulilah, tetangga lain ingin jua ikut memandikan, alhamdulilah ibu orang yang baik. Tapi, memandikan dibatasi hanya 5 orang, sebagian menyiapkan air, sungguh aku merasa pertolongan Allah amat dekat. Urusan lainnya aku serahkan pada kakak iparku. Selesai memandikan, mengkafani, itulah baju baru yang ibu minta padaku terakhir kali. Kalau bukan karena Allah, niscaya aku sama sekali tak akan sanggup melakukan itu semua. Tetangga berdatangan, aku seorang mewakili keluargaku menyampaikan permohonan maaf ibu, sibuk menjawab pertanyaan yg aku bahkan tidak tahu jawaban detailnya seperti apa kondisi ibu waktu itu. Bukan karena aku hebat, tapi aku sudah berjanji untuk menjadi hebat untuk ibu, kalau diijinkan memilih, aku ingin tersungkur, tapi sayangnya aku hanya dihadapkan pada pilihan bahwa akulah si hebat anak ibu itu. Kalau aku tumbang, siapa yang akan mengurus semuamya. Datanglah paman, wasiat ibu ingin dikuburkan di pemakaman keluarga. Sungguh aku ingin berlepas diri, tubuhku mulai goyah. Setelah selesai sholat jenazah, aku masih harus berundimg apa dikuburkan segera atau menunggu kakakku yg lain dari Jawa, pelik sekali perihal seperti itu disatu sisi adalah bersegera lebih baik, disisi lain, kakakku ingin melihat untuk yg terakhir kali.
Kemudian aku teringat, alhamdulilah aku diberi kesempatan untuk mengurusi jenazah ibu, dan alhamdulilah aku masih diberi kesempatan untuk mencium ibu, lalu bagaimana dengan kakakku, pikiranku berkecamuk, aku tanya pamanku, keluarlah keputusan besok pagi baru dikuburkan. Ya Allah, terimalah keputusan dan dan langkahku ini, jika kami salah, mohon maafkan kami.
Ku baca al-qur'an tak ingin kubiarkan ibu sendiri, sampai akhirnya datanglah sahabatku, padanyalah aku menangis sejadi-jadinya. Dia memelekku erat, meminta maaf karena jarang menengok ibuku. Sambil merapikan selang, rupanya ialah yg membantu membereskan selesai memandikan jenazah. MasyaAllah pertolonganMu dekat ya Allah. Adzan maghrib berkumandang, waktunya berbuka, dirumah sama sekali tak ada makanan, tak apa, toh tak ad yang berselera makan. Tak disangka, datanglah tetangga mengantarkan makanan. Alhamdulilah. Malam itu, ku coba lantunkan doa yang tak henti untuk menemani ibu, sampai saudara-saudara datang, sampai sahabatku yg lainnya datang. Dan sampai menunggu kakakku datang.
Pulul 07:00 pagi, datanglah kakakku yg ke3, ponakan-ponakanku menghampiri seraya memelukku, wahai Allah Kau tanamkan arti pada ponakan-ponakanku, sampai akhirnya aku merasa bahwa hanya merekalah yang merasakan bagaimana perasaanku sesungguhnya.
Jenazah siap dikebumikan, perjalanan itu aku ditemani sahabat-sahabatku,beberapa ponakanku, sesampainya di pemakaman, telah siap kakakku yg ke2 menopang jenazah ibu, bersama kakak-kakak iparku, sungguh beruntung ibu, punya menantu-menantu yang menyayangi ibu spt ibu kandung mereka.

Kini ibu telah berpulang, kita hanya sedang menunggu giliran.
Mohon doa untuk ibuku, semoga Allah berkenan memberikan ampunan, menerima segala amal ibadahnya, menjauhkan ia dari siksa kubur, menjauhkan ia dari siksa api neraka, dan menempatkan dia ditempat paling indah bersama orang-orang sholeh di syurganya Allah. Aamiin

Mohon maaf bila ibu dan aku memiliki kesalahan. 

Comments

Popular posts from this blog

Mencari asa yang hilang (part 3)

Manusia langka lainnya

Dibalik layar seorang rupawan