Mencari asa yang hilang (part 2)

30 menit berlalu. angin semakin terasa menyeruak, bau khas tanah lembab, aromanya tercium samar, rupanya cuaca sedikit berawan, langit mendung menjadi pertanda akan datangnya hujan.
Perlahan mata sang gadis terbuka, setengah tak bersemangat, saat tertidur pikirannya bisa terlupa, saat bangun ia merasa kawanan kabut kembali datang menyelimuti hatinya. Masih dengan mata setengah terbuka dia tiba-tiba saja terkejut, karena nampak didepannya sesosok manusia yang ia harap ada disampingnya, dipejamkannya lagi matanya, ia tau itu hanya mimpi dan angannya, maka kali kedua dia mencoba membuka mata, hampir saja ia menangis. sosok didepannya memang bukan Angin.  Pria itu perlahan melambaikan tangannya, memastikan gadis didepannya benar benar tersadar.
"Eh...Biyu, Embun tidur lama banget ya? maafin abis nyenyak banget angin sepoi-sepoi." Embun bertanya seraya memperbaiki posisi duduknya.
"Engga kok, tapi lumayan juga sih 30 menitan kali ada, udah yuk, keburu hujan, bentar lagi sampe kandang badak, abis itu kita sholat dzuhur disana, mau istirahat lebih lama disana juga gapapa." Jawab Biyu sambil mengulurkan tangannya.
"ok...ok.. bentar ngumpulin nyawa dulu, hehe. Biyu duluan gih, ke atas situ kan? tunggu disitu ya." Embun yang masih kaget dengan hal yang baru saja dialaminya menolak meraih tangan Biyu.
Jalanan datar tempat mereka beristirahat tak terasa dipenuhi banyak orang, Embun sampai tak menyadari kehadiran mereka. Embun kembali mengangkat carriernya, tenaganya belum pulih benar. Tapi, Biyu betul tentang hujan, akan merepotkan melewati jalanan tanah bebatuan, lebih licin lebih beresiko terjatuh. Kali ini posisi Biyu memimpin, waktu menunjukan pukul 11:30 WIB.
Biyu berjalan sambil terus menoleh ke belakang. Embun hanya tersenyum melihatnya, tenaganya macam tak benar-benar pulih.
Embun memutuskan untuk kembali beristirahat, tak tega melihat Biyu yang terus menunggu, sementara dirinya juga mengkhawatirkan Ita dan Dede.
"Biyu duluan aja, dari jalanan sini Embun tau kok, estimasi sampe kandang badak insyaAllah pas jam 12, kasian anak2 kalo kehujanan. Oh..iya kayaknya kita musti ubah planning deh bi, kita camp disana, ini udah mendung banget, dan kebetulan ability ku menurun nih, lelah dede lelah dede. "
"hahaha, kenapa dede minta di gendong? lelah lelah faktor u ya ? wkwk, iya Biyu sih terserah enaknya gimana, tapi Biyu juga ngerasa lelah, mending kita masak aja, abis itu besoknya baru kita summit ya, kalo mau gak kesorean sampe mang Idi, kita berangkat jam 3 subuh ya. " jawab Biyu
"nah kan klop kita istirahat ya, tapi masak iya jam 3, ngalahin orang tahajud aja, enggalah, aku sudah bukan pengejar matahari Bi, sekarang jadi pendaki masak-masak aja senengnya, hahaha"
"ok kalo gitu, semangat ayo Mbun."
"Semangat donk, tapi belum kumpul nih nyawa, Biyu duluan deh, biar gak keburu hujan terus pasang tenda, beneran Embun aman kok aman, lagipula banyak yang naik tuh, tuh mba-mba itu yang tadi sama masnya, Embun gak akan berani juga sendiri kok, udah gih, Biyu percaya aja sama Embun."
"Bener yah, Biyu percaya. pokonya di kandang badak, jangan bablas sampe mandalawangi sendiri loh saking bersemangat malah kelewat entar." Perlahan langkah Biyu memudar.
Embun tersenyum, teringat dulu pendakian pertama bagi mereka, masih amat polos, saat-saat Biyu masih junior. saat mereka jadi korban bulan-bulanan teman-temannya, saat semua belum sedrama sekarang.
Tak berapa lama, hujan turun dengan derasnya, Embun bergegas mengeluarkan jas hujan miliknya, bagian jas hujan memang selalu ia tempatkan dibagian yang paling mudah terambil, memudahkan saat tiba-tiba hujan deras tiba, sama seperti sekarang.
Hujan seketika datang dengan begitu derasnya, jalanan yang kering seperti disulap, berubah secepat kilat.
Embun melihat keseliling, ia baru saja melihat rombongan lain mengeluarkan jas hujan. Nampak satu dari rombongan itu belum terbiasa menghadapi kondisi gunung yang bisa berubah secara tiba-tiba, sepertinya dia mempacking jas hujan dibagian dalam carriernya, hingga terpaksa banyak mengeluarkan barang-barang lain, yang justru banyak menjadi basah. Di sisi lainnya, seorang wanita yang begitu beruntung dicintai kekasihnya, terlihat kerepotan mengambil jas hujannya di tas carrier yang dibawakan kekasihnya.
Embun baru saja belajar, semua tak lebih dari pengalaman dari seorang Angin yang menjadi guru baginya. Jika huruf alphabet berjumlah 26, kenapa kita hanya mempunyai 2 rencana? lebih parah lagi, hanya satu rencana? kenapa ? kenapa kita selalu menyulitkan diri sendiri tak terbebas dengan hal lain yang justru bisa kita lakukan? perencanaan pendakian mengajarkan kita bersiap dengan kemungkinan terburuk sekalipun, tentang tempat camp dimana, alasannya kenapa, bagaimana teknisnya, semua penting, pendakian bukan semata-mata eksistensi belaka.
Bahkan mengetahui sampai dimana batas mampu diri sendiri, semua harus terlaksana secara detail, kau bisa saja bilang dirimu pemula, tapi perencanaan pendakian bukan tentang pendaki baru atau pendaki lawas, aku tidak sedang mengutuk para pendaki baru, toh aku juga pernah ada di posisi mereka, tapi aku pikir aku tak sebodoh mereka-mereka, yang dengan rela sampai terjatuh ke jurang, hanya demi sebuah like. Pun aku tak setega mereka yang rela meninggalkan temannya hanya demi mengejar puncak. Tapi, aku tidak pula sepenuhnya menyalahkan mereka. Kebanyakan dari mereka yang hipotermia, kehabisan logistik, adalah mereka yang tidak siap dengan upaya pencegahan, seperti kubilang, penting mengetahui sampai dimana batas diri, dan jangan egois hanya karena kalian wanita, lantas tak mau sedikitpun membawa air minum bahkan untuk diri sendiri, mendaki mengajarkan banyak teori tentang kerjasama, tentang egois yang sesungguhnya, tentang peduli lebih banyak, juga tentang hal lain yang sangat jarang kita sadari. Egois sekali saat kita minum lebih banyak dari orang yang sudah dengan rela membawanya untuk kita. Mendaki adalah tentang memberi dan menerima, tapi sampai kapan kita berhenti diposisi menerima? sadarlah wahai diri, jangan terus bergantung pada manusia. Jadilah si pemberi yang bermanfaat bagi sekitar. Dan wanita adalah bukan alasan untuk kalian selalu jadi penerima saat kalian mampu untuk memberi. Jangan manja hanya karena kita terlahir lemah.
*****
Jalanan kini makin basah, air begitu cepat bercampur dengan tanah, curah hujan di Bogor memang selalu tinggi, julukan Bogor kota hujan memang tepat adanya.
Dan karena itulah menunggu hujan reda, kala itu hanya akan sia-sia. Embun melangkah lagi, langkahnya semakin berat, tanah itu kini melekat dengan mudah di sepatunya. Sepatu biru khas warna kesukaannya, kini hampir tertutup balutan tanah, menambah beban dan menyulitkan pergerakan. Langkahnya melamban, tapi kandang Badak dipikirannya cukup memacunya untuk terus bergerak. Sejauh 100m banyak sekali tenda berjejer, berbagai macam brand kenamaan banyak bertengger disana, tak kalah brand lokal sekelas dunia ikut meramaikan, dan satu lagi bivak terpal ciri khas tenda para penjual, ramai para pendaki yang ikut berteduh.
Embun kesulitan mencari Biyu, Ita, dan Dede. Dia terpaksa menitipkan carriernya ke salah satu penjual. Dia mondar mandir macam orang linglung yang tak tahu akan kemana melihat banyak kerumunan orang. Syukurlah, tak lama suara Ita memanggil. "kakak... kak..disini."
"kaliaaaannn..., syukurlah..sudah makan? Biyu mana? tadi dia duluan, mestinya udah nyampe." sahut Embun.
"Belum kak, nunggu kakak dulu, kak Biyu juga lagi cari lapak buat pasang tenda." jawab Ita dan Dede bersahutan.
"ya ampun kalian udah berapa lama disini? so sweet banget nunggu, kehujananan gak tadi? mestinya kalian isi perut kalian dulu. Aku sudah share kan snack buat ganjal-ganjal perut. Nanti kalian masuk angin, hipo ? gimana? yasudah kalian tunggu disini, aku ambil carrierku dulu." Embun nampak semakin merasa bertanggung jawab. Kala itu jua dia tersadar, itulah dulu kenapa Angin repot-repot memarahi dia karena begitu khawatirnya .
Semua personil kecuali Biyu kini sudah berkumpul, Ita dan Dede mulai merasa kedinginan, sementara dengan derasnya hujan masih terus turun.
Dari salah satu bivak darurat yang dibuat para penjual mereka diam sambil menikmati hujan.
"Pak, gorengannya 5 ya pak, teh hangatya 3, jadi berapa ?" tanya Embun yang sengaja memilih membeli makanan tanpa membongkar carriernya.
"teh nya 3, satunya 5 ribuan. jadi 15 ribu, gorengannya 5 satunya 2 ribu jadi 10 ribu, totalnya 25ribu neng."
"makasih ya pak, jualannya lagi rame ya pak, oiya saya mau tanya, bapak lihat laki-laki badannya agak berisi kulitnya putih terus pake carrier deuter biru gak pak?"tanya Embun lagi.
"wah bapak gak merhatiin neng, dari tadi banyak yang mondar mandir juga."
"oh gitu ya pak, makasih ya pak"
Embun kembali duduk bersama Ita dan Dede, "ini kalian isi dulu perutnya, jangan biarin kosong, abis ini kalo udah pasang tenda kalian ganti baju ya."
Tanpa basa basi mereka langsung melahap gorengan, "enak ya kak, hehehe. eh kak Biyu mana ya kak, apa gapapa kita makan gini duluan?"tanya Dede
"kalian makanlah duluan, minimal metabolisme kalian berjalan sehingga menghasilkan panas, metabolisme pada wanita lebih cepat, makanya wanita kadang cepet lapar, cepet juga kedinginan. Embun nanti cari Biyu abis minum teh ini. Kandang Badak gak seluas cisentor argopuro kok, Biyu ma pasti ketemu."
"okeeehh. aku mau 2 gorengannya kak. " timbal Ita.
"nah kan laperrrr, jangan suka nahan laper nanti kelaperan kan. wkwk. Makanlah, nanti beli lagi gampang, sekalian buat Biyu. Eh Embun cari Biyu sekarang ya, gak mungkin nunggu terus ini ma bisa kedinginan."
sesaat sebelum Embun mencari Biyu, datang seseorang menghampiri.
"mba, liat temen ku gak mba yang barengan aku tadi, ada 14 orang. yang masih di bawah, aku udah disini dari tadi mba, mereka belum dateng-dateng."
"duh..yang mana ya saya gak noticed juga tuh. emm.. open trip bukan mas?"
"iya"
"mmm... bentar, ada yang pacaran ya mas ? terus mba-mbanya agak tinggi? sebagian lagi ada beberapa cewek?"
"iya mba bener, yang cewek kebanyakan pake daypack"
"oh itu mas, saya tadi lihat kayaknya mereka gak jauh deh dari saya, mestinya sih udah sampe, mungkin lagi berteduh kali mas, coba cari ke arah sana, banyak yang berteduh disana. Saya permisi duluan ya mas, gapapa kan ? saya juga mau cari temen. Marii...!"
"iya mba, makasih ya, silahkan.
Hujan deras masih terus turun membasahi bumi mandalawangi, sepasang mata itu kini mencari, dari bilah bilah tenda satu ke tenda lainnya, belum jua ia temui sesosok manusia itu. Matanya menelusur, sementara otaknya berpikir, diimbangi kaki yang terus melangkah. Embun terus berjalan dalam hujan.
Akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba, yang dicari datang menghampiri.
"Biyu, kita camp dimana? daerah sana ada satu tenda, satu lagi mungkin kepisah, Embun belum nyari ke sana sih." arah tangannya menunjuk ke arah yang lebih sepi.
"Iya boleh, Biyu juga tadi sempet mikir disana aja, cukuplah untuk satu tenda dulu, yang penting bisa ganti baju, Dede sama Ita juga bisa masuk tenda dulu, khawatir mereka hipo."
"Lah ...sendirinya kebasahan begitu, udah makan belum? nih makan dulu gorengan, itung-itung ganjal perut takutnya kamu masuk angin. Bukan apa-apa nanti kamu sakit, masak aku yang bawa tenda. hehehe"
"Ya...ampun jahat amat alesannya gak enak." seraya tangannya mengambil gorengan yang ditawarkan.
Setalah Biyu makan, keduanya bersiap membongkar tenda, karena hujan cukup deras, Embun punya tugas lebih banyak, membuat jalur air, kebetulan tempat tenda akan berdiri cukup deras teraliri air karena posisinya yang memang lebih rendah. Penting untuk membuat jalur air, meski hujan belum datang, berjaga jangan sampai saat tidur lelap hujan deras datang menyulitkan kita, alas tenda bisa saja basah terendam air.
Dari dalam carrier biru berlogo huruf d itu, carrier yang nampak digandrungi akhir-akhir ini, macam carrier sejuta umat, bergegas Biyu mengeluarkan flysheet, flysheet berguna sekali saat-saat seperti ini, mengurangi curah hujan yang cukup deras. juga mengurangi air atau embun yang langsung terkena tenda, memang tak masalah jika tendamu bertipe 2 lapis, sebut saja double layer, khas para pendaki menyebutnya. Tapi tetap saja, ada flysheet memberi manfaat banyak, selain bisa menjadi atap berteduh kala pendaki lain butuh berteduh, juga bagi kita berkumpul berbincang-bincang.
Keempat makhluk sosial itu kini sibuk, Dede membantu Biyu, sementara Ita memanaskan air, Embun sibuk memilah batang pohon kayu yang roboh untuk dijadikan tiang, sementara itu hujan masih terus membasahi.
Setengah jam kemudian, satu tenda kini berdiri tegak. Dede kewalahan, sepertinya tanda-tanda kelelahan, dia memilih menghampiri Ita.
"Kak, mau susu, teh, apa kopi? " Tanya Ita
"Aku susu putih"jawab Embun
Kamu, Bi?
"Biyu kopi donk"jawabnya sambil jemari tangannya memasukan batang frame satu persatu.
"Kak, Dede bantu Ita masak ya. "
"Iya, masaklah masak yang enak. Kami sudah lapar, biar tenda satu lagi aku sama Biyu yang pasang."
"Oke bos, rebes."sahut Dede
Terdengar suara adzan, salah satu pendaki mengumandangkan adzan, suaranya merdu memenuhi penjuru alam. Mereka, setelah selesai memasang tenda, dan sedikit menghangatkan perut, bersiap bersih-bersih dan mendirikan shalat.
Tinggalah si gadis itu sendiri, Embun menyibak air matanya, berusaha menyadarkan diri apa yang terjadi padanya adalah takdir terbaik baginya. Takdir untuk ikhlas mencintai tanpa memiliki. Takdir untuk terbiasa kuat tanpa orang yg slalu menguatkan dirinya. Berat sekali baginya, rindunya kini sudah tak berbalas. Kenangan bersama Angin selalu muncul begitu saja tat kala ia sendiri. Beratnya lagi, dia hanya bisa menahan rindu itu sendiri, tak terucap, jikalau rindu itu terucap akan ada hati lainnya yang mungkin tersakiti, Embun tak mau menjadi sesosok makhluk yang menyakiti itu, biarlah, biarlah dia yang merasakan pilu itu sendiri.
3 anak manusia itu datang menghampiri, tanpa sadar Embun memang selalu terlihat jelas sesaat setelah menangis.
Pertanyaan muncul berbarengan dari 2 bocah itu, " kak, kakak kenapa? Kakak lihat yang aneh-aneh lagi ya? Salah satu menimpali."
"Hush...! Kamu itu hati-hati bicara, ini sudah mau maghrib, ayo kita makan dulu, aku gapapa, cuacanya dingin bikin meler." Jawab Embun sekenanya, ia tahu alasannya tak akan mempan bagi Biyu.
Sementara itu bumi pangrango terasa semakin dingin. Sambil mereka berbincang-bincang, sahut-sahut terdengar sapaan pendaki dari tenda diseberang. Dede dan Ita, sibuk menimpali, mereka memang sedang antusias-antusiasnya, sementara Embun hanya sesekali menimpali, Embun gadis itu berusaha terlihat biasa, berusaha bangkit lagi, meski mengingat semua impiannya terasa hancur lebur begitu saja, tidak secara tiba-tiba, Embun sadar hari itu akan tiba, pikirnya ia akan kuat, ternyata ia tetap manusia biasa yang punya rasa.
Tiba-tiba saja Biyu mendekat, luar biasa Embun kaget dibuatnya, berbisik dia pelan, "dengerin deh..! Ttuuuutt...!" Suara kentut menggelegar memenuhi tenda.
"Biyuuuuu......, Eh sumpah ya bau gila, makan apa sih, gila sih ini racun, awas aja nanti naru nyaho". Jawab Embun menggerutu, wajahnya kini sedikit mengembangkan senyum.



Lega sekali memiliki teman yang tak banyak tanya, tapi selalu paham isi hati kita.

Comments

Popular posts from this blog

Mencari asa yang hilang (part 3)

Manusia langka lainnya

Dibalik layar seorang rupawan